Tri Desak 4G LTE di 1.800MHz


Operator telekomunikasi Tri menggelar uji coba teknologi jaringan 4G Long Term Evolution (LTE) di Yogyakarta dan Bali dengan memanfaatkan spektrum frekuensi 1.800MHz. Perusahaan berharap jaringan mobile generasi empat itu dapat diaplikasikan di spektrum 1.800MHz.

Hutchinson 3 Indonesia, selaku pengelola Tri, mengatakan bahwa uji coba ini telah mendapatkan izin teknis dari Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika tertanggal 10 April 2014.

Presiden Direktur Hutchinson 3 Indonesia, Manjot Mann mengatakan, infrastruktur dan teknologi yang digunakannya telah siap menggelar 4G LTE. Perusahaan juga menyatakan kesiapannya untuk berinvestasi dalam hal perangkat.

Manjot menambahkan, Tri saat ini tinggal menunggu penentuan spektrum yang akan digunakan untuk 4G LTE. "Sekarang kami menunggu langkah pemerintah untuk menentukan realokasi spektrum yang akan dipergunakan oleh Indonesia untuk teknologi LTE. Seperti layaknya yang sudah diaplikasi global market, Tri berharap LTE dapat diaplikasikan di spektrum 1.800 Mhz,” ujar Manjot.

Perusahaan menganggap regulasi pemerintah terkait spektrum 4G LTE merupakan hal serius karena di Kemenkominfo harus bertindak adil untuk menciptakan kompetisi yang sehat di antara para pemain.

"Harapan kami tentunya pemerintah mampu bijak dalam menetapkan alokasi jatah spektrum yang sesuai porsi bagi seluruh provider telekomunikasi,” tambah Manjot.

Saat ini Tri hanya memiliki alokasi frekuensi seluas 10MHz di spektrum 1.800MHz dan 10MHz di spektrum 2.100MHz. Perusahaan dilaporkan sempat meminta tambahan alokasi frekunesi 10MHz di 1.800MHz kepada Kemenkominfo, namun belum ada keputusan terkait permintaan itu.

1.800MHz diprediksi bakal menjadi frekuensi yang siap untuk menggelar 4G LTE. Perusahaan telekomunikasi lain yang berlisensi GSM, seperti Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat, juga menyatakan kesiapannya menggelar 4G LTE di frekuensi tersebut.

Di spektrum 1.800MHz, Telkomsel saat ini memiliki alokasi frekuensi 22,5MHz, XL Axiata juga 22,5MHz setelah selesai mengakuisisi Axis, serta Indosat 20MHz.

Sumber: Kompas

Bahasa Indonesia Terbesar ke-3 di WordPress


Bahasa Indonesia menempati posisi ketiga sebagai bahasa yang paling banyak digunakan di platform blog WordPress.com setelah bahasa Inggris dan Spanyol.

Pendiri sekaligus CEO Automattic, Matt Mullenweg, mengatakan bahwa sekitar 3,5 persen dari seluruh pengguna WordPress mengakses layanan itu dengan bahasa Indonesia. Jakarta, menjadi kota dengan penduduk yang paling banyak mengakses WordPress.

"Ada 1,7 juta situs dengan WordPress yang memakai bahasa Indonesia. Situs-situs itu mendapatkan 200 juta page view per bulan," kata Mullenweg saat ditemui di Jakarta, Selasa (3/6/2014).

Melihat pertumbuhan pengguna WordPress di Indonesia yang begitu besar, Mullenweg berencana merekrut karyawan sebagai customer support di Indonesia. "

Kedatangan ke Jakarta ini merupakan yang kedua kalinya bagi Mullenweg. Ia datang untuk menghadiri Jakarta WordPress Meetup, 2 Juni 2014. Ajang ini merupakan tempat bertemu para pengguna, pengembang, hingga desainer yang memanfaatkan platform WordPress.

Sebelumnya, Mullenweg pernah mengunjungi Jakarta pada Januari 2009 untuk menghadiri ajang WordCamp Indonesia.

Perusahaan Automattic, yang mengembangkan platform WordPress, beberapa waktu lalu mendapat pendanaan sebesar 160 juta dollar AS. "Uang itu akan kami gunakan untuk memperluas bisnis, merekrut karyawan, memperkuat infrastruktur. Semua itu digunakan untuk mempercepat pertumbuhan WordPress," terang Mullenweg.

WordPress bisa disebut sebagai salah satu sistem pengelola konten (content management system/CMS) terbesar di dunia. Dari sekian banyak situs web di dunia, sekitar 22 persen di antaranya atau 75 juta situs web memakai platform WordPress.

Sumber: Kompas

Google Siapkan Rp 11 Triliun untuk Satelit


Google dilaporkan bakal menyiapkan dana lebih dari 1 miliar dollar AS (sekitar Rp 11,7 triliun) untuk menyediakan satelit yang bisa menghadirkan akses internet ke wilayah-wilayah dunia yang belum terjangkau internet. 

Bahkan, seperti dilaporkan Wall Street Journal, angka itu bisa membengkak hingga 3 miliar dollar AS. 

Proyek akses internet global itu dikatakan akan dimulai dengan 180 satelit kecil dengan kapasitas internet tinggi yang mengorbit bumi di ketinggian rendah, lebih rendah dari umumnya orbit satelit. 

Sebelumnya, Google pernah mengumumkan proyek pengadaan akses internet menggunakan balon udara. 

Salah satu indikasi kesiapan Google untuk "bermain" satelit adalah masuknya Brian Holtz dan Dave Bettinger ke perusahaan raksasa itu. Keduanya dikenal memiliki latar belakang di perusahaan satelit komunikasi.

Upaya untuk mencapai penduduk dunia yang masih "miskin internet" itu juga konon dilakukan oleh Facebook. Dilaporkan pula bahwa Facebook melakukan hal serupa dengan memanfaatkan pesawat tanpa awak (drone), satelit, dan teknologi laser. 

Baik Google maupun Facebook tak bisa dibilang sekadar dermawan dalam upaya-upayanya ini. Ujung-ujungnya, apalagi kalau bukan untuk mendapatkan pemasukan tambahan dari iklan?

Sumber: Kompas

Data Pribadi Bisa Dihapus dari Google


Google telah meluncurkan layanan yang memungkinkan warga Eropa meminta data pribadi mereka dihapus dari pencarian online.

Tindakan ini dilakukan setelah keputusan pengadilan Eropa awal bulan ini memberikan orang "hak untuk dilupakan."

Tautan ke data yang "tidak relevan" dan data-data lama harus dihapus berdasarkan permohonan.

Google mengatakan akan mengevaluasi semua permintaan dan menyeimbangkan "hak privasi individu dan hak publik untuk mengetahui dan mendistribusikan informasi."

"Saat mengevaluasi permohonan Anda, kami akan melihat apakah hasil pencarian itu meliputi informasi yang sudah tidak berlaku lagi tentang Anda, dan apakah ada kepentingan publik atas informasi itu," kata Google dalam formulir yang harus diisi oleh pengguna.

Google mengatakan akan melihat informasi tentang "pemalsuan finansial, malpraktik profesional, dakwaan kriminal atau rekam jejak pejabat pemerintah" saat memutuskan apakah akan menolak atau mengabulkan permintaan itu.

Awal bulan ini, BBC mengetahui bahwa separuh dari permintaan yang dikirim kepada Google dari Inggris berasal dari residivis.

Satu diantaranya datang dari seorang pria yang dinyatakan bersalah karena memiliki gambar-gambar penganiayaan anak.


Sumber: BBC Indonesia

Pasca Kudeta, Thailand Susah Akses Facebook



Sejumlah pengguna Facebook di Thailand melaporkan tidak bisa mengakses akun Facebook-nya pada Rabu (28/5/2014). Kuat diduga, militer Thailand yang berada di balik pemblokiran tersebut.

Sebelumnya diberitakan, militer Thailand mengancam bakal memblokir media sosial di negeri tersebut apabila dipakai publik untuk mengkritik para pemimpin militer atau menyebarkan huru-hara, menyusul kudeta yang dilakukan pada minggu lalu.

Menurut The Wall Street Journal (28/5/2014), Facebook tidak bisa diakses di hampir semua web browser atau perangkat mobile pada Rabu sore, sekitar pukul 15.30 waktu setempat. Sekitar 90 menit kemudian, beberapa pengguna mengatakan bisa mengakses, namun sebagian lain tetap tidak bisa, terutama pengguna mobile.

Juru bicara Angkatan Darat Thailand, Winthai Suvaree mengatakan ketidakmampuan pengguna mobile mengakses Facebook itu disebabkan karena gangguan teknis. Suvaree juga mengatakan jika Kementerian Teknologi Informasi dan Komunikasi Thailand sedang memperbaikinya.

"(Facebook) akan bisa kembali diakses tak lama lagi, kami tidak memerintahkan untuk memblokirnya," ujar Suvaree.

Sementara perwakilan Facebook mengatakan, perusahaannya sedang mendalami permasalahan tersebut dan belum bisa berkomentar. Di Thailand sendiri terdapat sekitar 25 juta pengguna Facebook terdaftar hingga saat ini.

Situs lain seperti Gogle, YouTube, dan aplikasi berbagi foto Instagram dilaporkan The Wall Street Journal tetap beroperasi secara normal.

Selain itu, layanan pesan instan seperti Line dan WhatsApp juga tetap bekerja secara normal. Juru bicara Line mengatakan bahwa pihak yang berwenang di Thaland belum menghubungi mereka tentang rencana pemblokiran pengguna individu.

Sumber: The Wall Street Journal